Tantangan terbesar yang menghadang kaum Muslim saat ini
adalah menyikapi berbagai perkara yang terus berubah, tentunya melalui
pemahaman Islam yang benar. Hal ini bisa dilakukan dengan mengacu pada metode
yang sudah ditetapkan islam dalam memahami hokum-hukum syariah, yakni
mengaitkan fakta yang ada dengan nash-nash syariah.
Hanya saja, pemahaman Barat dan metode berfikir yng
digunakan orang kafir, juga mereka yang terpengaruh oleh pola pikir barat,
sudah memasuki benak kaum muslim. Ini berakibat pada kemunduran dalam
pelaksanaan hukum-hukum fikih. Mereka justru lebih memilih mengamalkan apa yang
dikenal dengan ‘fikih darurat’. Pada gilirannya, hal ini mengeluarkan konsep
darurat dari bingkai fikihnya ; menjadi alternative yang lebih dipilih dari pada
pemberdayaan akal pemikirannya.
Sesungguhnya kaidah fikih ad-dharurat tubih al-mahdzurat
(kondisi darurat membolehkan sesuatu yang diharamkan) dan ketetapan lain dalam
ushul fikih. Penting bagi kita untuk memahami kaidah berikut ini berikut
tempat yang tepat dan tata cara
penerapannya.
Dharurat (darurat) adalah isim dari mashdar “idhthirar”. Pengertiannya
adalah : al-iktiyaj ila as-sya’i (membutuhkan sesuatu). Dikatakan idhtharrahu
ila kadza artinya dia sangat membutuhkan sesuatu : sesuatu itu memaksa dia
sehingga dia menjadi terpaksa.
Definisi Dhururat ini menghasilkan sejumlah
pengertian :
1.
Dhururat adalah uzur syar’I
yang menuntut seseorang melakukan sesuatu yang dilarang atau diharamkan. Ini berbeda
dengan hukum alternatif yang ditetapkan
oleh syariah yang disebut rukhshah.
Karena itu uzur yang membolehkan keharaman tersebut harus ditetapkan batasannya
oleh syariah.
2.
Dharurat adalah kondisi
yang memaksa dan biasanya tidak ada sesuatupun yang bisa menolaknya.
3.
Dharar tersebut nyata-nyata
mengancam jiwa, bukan yang lain.
Adapun hajat ( kebutuhan) berbeda dengan dharurat walaupun
memang dalam hajat dan dharurat itu terdapat masyaqqah (kesulitan). Hanya saja kesulitan yang ada
dalam hajat bukanlah sesuatu yang mulji’ (bersifat memaksa), karena tidak
mengakibatkan kebinasaan jiwa atau cacatnya anggota badan. Hukum hajat itu
berbeda dengan hukum dharurat.
Walaupun dharurat menjadi sebab adanya rukhshah, rukshshah
itu lebih umum dari dharurat. Rukshsah mencakup kondisi dharurat maupun tidak
dharurat seperti uzur syar’i yang mengharuskan adanya keringanan.
Diantara dalil bahwa dharurat itu bisa membolehkan seseorang melakukan
keharaman dan dipandang sebagai uzr syar’i adalah firman Allah SWT :
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atas kalian
bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (saat disembelih) disebut nama
selain Allah. Namun, siapa saja dalam keadaan terpaksa (memakannya), padahal
dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)melampaui batas, tidak ada dosa
baginya (QS. Al-Baqarah [2] : 173).
Saat menjelaskan firman Allah SWTini, Ibnu Abbas ra.,
berkata , “Siapa saja yang memakan sesuatu dari semua inidalam keadaan terpaksa
(mudhtharr) maka tidak apa-apa. Siapa saja yang telah memakannya tanpa terpaksa
maka dia sama saja telah melampaui batas.
Hanya saja, para ulama muta’akhirin telah menetapkan
definisi darurat yang berbeda. Mereka mengatakan bahwa darurat adalah kondisi
yang jika seorang mukallaf sampai pada kondisi itu maka dia boleh melakukan
sesuatu yang haram. Kebolehan ini berlangsung hingga hilangnya gangguan dalam
segala bentuknya. Dengan demikian, menurut mereka, darurat tak hanya terbatas
pada ketakutan akan timbulnya kebinasaan dan kecacatan saja seperti yang
ditetapkan oleh nash-nash al-Quran dan pernyataan yang dinukil dari para
sahabat, tabi’in dan ulama saman dulu, melainkan lebih umum dari itu semua. Menurut
mereka, darurat itu bisa juga mencakup menolak dharar atas jiwa, kehormatan,
harta, agama dan tanah air. Mereka berpendapat seperti itu dengan beralasan
bahwa banguna syariah itu tegak atas prinsip menarik berbagai maslahat dan
menolak berbagai mafsadat (jalb al-mshalih wa dar’u al-mafasid), juga
berdasarkan prinsip menolak kesempitan dan kesulitan dari para mukallaf (raf’ul haraj). Menurut mereka syariah ilahiyah itu dating untuk
melindungi kehidupan manusia secara utuh, yankni kebutuhan yang lima, dimana
kehidupan dunia dan agama tak akan bisa tegak tanpa itu : juga bahwa taklif yang diberikan pada hamba itu diberi
syarat berupa adanya kemampuan sang hamba (al-qudrah).
Sebanarnya defines para fukaha terdahulu itulah yang rajah (kuat).
Pertama: karena adanya dalil atas hal itu. Kedua : karena kesimpulan yang diambil
oleh ulama muta’akhirin itu sebenarnya tidak berdalil. Pasalnya, menarik maslahat
dan menolak mufsadat itu bukanlanh ‘illat syar’I untuk hukum
apapun,bahkan untuk syariah secara umum.Nash-nash hanya menunjukan bahwa tujuan
syariah islam itu adalah menarik maslahat dan menolak mafsadat. Artinya,
natijah yang dihasilkan dari penerapan syariah itu adalah memperoleh maslahat
dan menolak mafsadat. Menarik masalahat dan menolak mafsadat bukanlah motif
yang mendasari pensyariatan hukum. Adapun pendapat mereka bahwa dharurat itu
mencakup perlindungan terhadap muqashid yang lima, maka muqashid tersebut
muncul sebagai natijah dari hukum syariah. Maqashid tersbut tidaklah berkaitan
sama sekali dengan istinbath, istidlal dan pen-ta’lil-an hukum.