Jubir Muslimah HTI Iffah Ainur Rachmah menilai melegalkan
pernikahan beda agama sama saja dengan melegalkan zina dan pemurtadan. “Ini
sangat berbahaya, bila judicial reviewdikabulkan
MK. Berarti ada upaya untuk melegalkan zina dan pemurtadan!” tegasnya kepada mediaumat.com,
Selasa (9/9) melalui telepon selular.
Menurutnya, pernikahan beda agama jelas tidak memenuhi syarat
yang sah dalam pandangan syariat Islam. Nikah beda agama hanya dibolehkan
kepada lelaki Muslim yang menikahi perempuan ahlul kitab saja, itu pun dengan syarat yang
ketat.
“Bila tidak sah dalam pandangan agama, artinya ya perzinaan.
Kalau dipaksakan pernikahan yang tidak sesuai agama ini, dengan adanya
legalitas secara adminstratif berarti ada legalitas perzinaan,” jelasnya.
Secara empiris, menurut Iffah, pernikahan agama yang terjadi
selama ini juga menjadi salah satu cara untuk memurtadkan orang Islam. Pada
awalnya pasangan yang menikah beda agama bisa jadi masing-masing mempertahankan
agamanya. Tetapi pada perkembangannya, banyak warga Muslim pindah agama
mengikuti pasangannya setelah menikah sekian lama.
Belum lagi nanti anak-anak yang dilahirkan, setelah orang tuanya
dalam kondisi demikian tentu anak-anaknya mengikuti salah satu agama orang
tuanya. “Yang sangat kita kuatirkan, karena sudah banyak kejadian menimpa
Muslim, anak-anak mereka tidak bisa diarahkan pada Islam bahkan si orang tua
yang Islamnya pun, menjadi non Muslim,” ujarnya.
Racun Liberalisme
Upaya melegalkan pernikahan beda agama merupakan manivestasi
dari racun liberalisme. “Motifnya jelas adalah liberal, ingin negeri ini lepas
dari aturan-aturan Allah SWT!” ungkapnya.
Iffah juga melihat ada sebagian kelompok liberal justru
mengatakan selama ini dengan tidak adanya legalitas untuk pernikahan beda agama
ada banyak pasangan yang ingin menikah namun terganjal aturan administriatif
tersebut, akhirnya salah satu pasangannya berpura-pura masuk ke agama lain, ini
dianggap sebagai hipokrisi atau kemunafikan, yang bertentangan dengan HAM.
“Saya kira pandangan seperti ini menunjukkan ingin mengedepankan
keinginan individu-individu orang yang sudah sangat dimabuk cinta untuk
melegalkan keinginannya dengan melawan aturan agama,” pungkasnya.
Saat ini, sejumlah alumnus dan mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (FHUI) mengajukan judicial reviewPasal
2 ayat (1) UU Perkawinan. Mereka hendak meminta tafsir kepada majelis hakim
konstitusi mengenai keabsahan pernikahan beda agama bila mengacu ke pasal itu. (mediaumat.com, 9/9/2014)