(Meniti Jalan Dakwah yang Lurus dan Jernih)
Oleh : Ahmad Abdurrahman al-Khaddami al-Jawi
Sebagaimana uslub kajian fiqih pada umumnya, penulisan matan fiqih tanpa menyebutkan dalil bukanlah sebuah "cacat ilmiah". Tujuan para penulis matan adalah mempermudah dalam pengajaran, terutama bagi kalangan pelajar pemula. Terkadang "kerumitan" pendalilan jutru menjauhkan kedalaman pemahaman, sehingga terjadi "salah paham" karena uslub penyampaian yang tidak tepat.
Pada bagian awal kitab at-Takattul al-Hizbi dijelaskan bahwa ada 4 (empat) faktor yang menyebabkan berbagai gerakan perubahan mengalami kegagalan, yaitu:
a. Ketidakjelasan dan kesamaran fikrah (pemikiran) yang diemban, terutama dalam hal visi, misi, dan tujuan gerakan,
b. Ketidakjelasan thariqah (metode) untuk menerapkan fikrah yang diemban, cenderung "trial and error"
c. Ketiadaan kesadaran para aktivis pergerakan, sehingga bergerak sekedar " modal" semangat, terdorong hanya oleh perasaan tanpa pemikiran,
d. Ketiadaan ikatan yang benar diantara para anggota, yang terikat sekedar aturan administratif dan slogan organisasi.
Demikian, pemahaman al-faqir terkait apa yang disebutkan dalam karya Syaikhuna al-'Allamah al-Mujaddid al-Mujahid Taqiyyuddin an-Nabhani al-Azhari, yang jika diperhatikan bahwa menurut Syaikhuna kegagalan tersebut bersifay thabi'i atau alami, sehingga tidak diperlukan nash khusus mengenainya.
Hanya saja, keliru jika sebagian pihak mengira bahwa pemikiran Syaikhuna bukanlah hukum syariah, sekedar teori murni yang berasal dari berpikir rasional. Justru, pemikiran tersebut adalah hukum syariah yang berlandaskan pada kaidah ushul:
ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
"suatu perkara yang tidak sempurna sebuah kewajiban kecuali dengannya maka perkara tersebut menjadi wajib"
Hukum asalnya adalah kewajiban untuk melanjutkan kehidupan Islam melalui penegakan Khilafah/Imamah, yang menurut Syaikhuna hanya bisa terlaksana jika terdapat kelompok yang memenuhi 4 (empat) kriteria tadi.
Secara alami, setiap pemikir yang hendak melakukan perubahan pasti akan mendakwahkan pemikirannya kepada orang lain, karena perubahan di masyarakat tidak mungkin terjadi jika sendirian. Ketika ada satu atau lebih mengikuti aktivis tersebut maka terbentuklah secara alami sebuah jama'ah.
Oleh karena itu, pembahasannya bukan pada perlu atau tidaknya sebuah jama'ah namun bagaimana agar jama'ah yang ada bisa melaksanakan tugas dan amanahnya. Terlebih lagi secara syar'i pembentukan jama'ah dibenarkan sesuai ayat :
ولتكن منكم امة يرعون الى الخير ... الاية
"Hendaknya ada sebagian umat dari kalian yang menyeru pada kebaikan ... "
Juga dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat radhiyallahu 'anhum, sebagaimana diriwayatkan dari 'Ammar ibn Yasir dengan sanad shahih, Anas ibn Malik dengan sanad hasan, dan Salman al-Farisi mengenai ungkapan "hizb Muhammad".
Perlu atau tidaknya jama'ah yang memenuhi keempat syarat tersebut mesti ditinjau dari kajian ushul fiqih, bukan sekedar tafsir al-Quran dan riwayat hadits.
Hal ini semisal dengan kajian mengenai faktor apa saja yang menyebabkan kegagalan dalam menghafalkan al-Quran. Barangsiapa yang mengikuti pendapat manapun dalam tata-cara menghafal maka pada hakikatnya sedang menyempurnakan salah satu pelaksanaan hukum fardhu kifayah atau sunnah muakkadah.
Yang jelas secara faktual apabila salah satu dari keempat kriteria tadi masih ditemukan pada sebuah gerakan maka secara alami kegagalan adalah bagian dari perjalanannya. Wallahu A'lam.
Purwakarta, 25 Rabi' ats-Tsani 1440 H/ 2 Januari 2019 M